Monday, June 11, 2007

HIDUP FOKE !!! = HIDUP ORBA !!!

Faisal: Politik Dikuasai Orba, PDIP Dikibuli
----------------------------------------------------------


JAKARTA - Pengamat politik menilai bahwa poltik di Indonesia masih dikuasai tokoh-tokoh peninggalan orde baru (Orba). Paradigma tersebut juga terjadi dalam Pilkada DKI yang akan berlangsung pada Agustus 2007. Salah satu yang menjadi corong orba atau Partai Golkar adalah cagub Fauzi ‘Foke' Bowo.
"Kita harus mewaspadai orba. Saat ini, politik masih dikuasai orba. Sekarang yang sedang dikibuli adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) lagi," kata pengamat politik dan ekomomi Faisal Basri dalam diskusi panel "Pilkada DKI Jakarta 2007 Harus Mengakomodasi Calon Independen" di Wisma Antara, Jakarta, Rabu (6/6/2007).
Dia melanjutkan, bila ingin mengetahui sosok Foke maka bisa melihatnya melalui daftar riwayat hidupnya. Dalam biografinya, Foke merupakan kader Partai Golkar asli.
"Jadi kita harus musuhi golkar secara ideologis. Politik saat ini juga telah menciptakan kutub-kutub ektrim antara nasionalis dan Islam. Bukan PKS yang harus dimusuhi tapi musuh kita adalah Golkar," tegas Faisal.
Faisal merincikan, masyarakat juga harus mencermati bahwa saat ini Ketua DPR dan DPRD berasal dari Partai Golkar. "Ini bukan persoalan Jakarta saja. Ini merupakan persoalan bangsa. Coba cek biografi Foke, lahir batin adalah Golkar. Untuk itu, PKS jangan daftar dulu hingga akhir pendaftaran," tandasnya.

sumber:Okezone
============

Koalisi Partai Pendukung Foke “Tersandera” Golkar
---------------------------------------------------------------------

JAKARTA - Pesta demokrasi menyambut pemimpin baru di DKI Jakarta hanya di ikuti oleh dua pasang calon gubernur dan wakil gubernur. Fauzi Bowo berpasangan dengan Prijanto dan Adang Daradjatun yang berpasangan dengan Dani Anwar. Idealnya, di tengah alam demokrasi melahirkan lebih dari sekedar dua pasang calon.
Namun, memang sejak awal banyak kalangan memprediksikan bahwa Pilkada DKI Jakarta 2007 hanya akan diikuti oleh dua pasang calon saja. PKS dengan mengusung Adang-Dani, kemudian diikuti oleh Koalisi Jakarta yang terdiri dari seluruh partai yang ada untuk mengusung pasangan Fauzi Bowo-Prijanto. Dimotori Partai Golkar, koalisi Jakarta menjadi kekuatan yang superior.
Betapa tidak, Partai Demokrat yang memperoleh suara lebih dari 15% syarat suara untuk mengusung satu pasang calon tidak diperdaya untuk bergabung dalam Koalisi Jakarta. Begitu juga dengan PDI Perjuangan. Partai yang notabene pernah dikecewakan oleh partai berlambang Pohon Beringin ini juga tak berdaya .
“Fauzi Bowo itu kader Golkar. Sekarang yang dikibuli PDI Perjuangan lagi,” ujar Pengamat Ekonomi Politik Faisal Basri beberapa hari lalu kepada wartawan. Bahkan dengan tegasnya dia mengatakan bahwa Partai Golkar merupakan musuh bersama.
“Kita harus memusuhi Partai Golkar secara ideologis, bukan PKS. Karena Partai Golkar lah yang menciptakan kutub-kutub ekstrim antara nasionalis dengan islam,” tegas Faisal. Tapi, memang seperti itulah kenyataan yang terjadi terhadap partai politik kita.
Hal senada juga dikatakan Pengamat Politik Senior Universitas Indonesia Arbi Sanit yang mengatakan bahwa partai politik mulai dari orde baru hingga kini tidak ada perubahan. “Apa bedanya partai lama dengan paratai yang baru. Semuanya sama saja, hanya menginginkan kekuasaan semata. Tidak ada yang lebih baik dari semua partai yang ada,” kata Arbi Sanit.
Begitu dominannya partai poltik hingga penggunaan undang-undang dalam pelaksanaan pilkada di DKI Jakarta menggunakan undang-undang yang mengebiri hak-hak masyarakat dalam pesta demokrasi tersebut. Seperti tidak memperbolehkannya calon independent untuk maju sebagai calon gubernur dan wakil gubernur. Hingga kini penggunaan undang-undang dalam pilkada DKI Jakarta masih dalam perdebatan publik, bahwa undang-undang tersebut tidak ideal untuk diterapkan di DKI Jakarta yang notabenenya barometer bagi demokrasi di bangsa ini.
Mengutip pernyataan pengamat politik Samsuddin Harris yang mengatakan bahwa undang-undang 32 tahun 2004 sangat tidak cocok untuk digunakan di DKI Jakarta.
“Sangat tidak pas Pilkada di DKI Jakarta menggunakan undang-undang nomor 32 tahun 2004. Sebab, DKI Jakarta merupakan daerah khusus yang harus menggunakan undang-undang khusus pula,” kata Samsuddin Harris.
Dia menjelaskan bahwa jika memang menggunakan undang-undang tersebut, dikhawatirkan legitimasi kepemimpinan daerah tidak begitu kuat.
Bahkan Samsuddin Harris mengatakan, penggunaan undang-undang nomor 32 tahun 2004 ini memang sengaja digunakan untuk mengganjal calon-calon dari non partai untuk mengikuti pilkada nanti. “Ada upaya dari partai politik untuk mengganjal para calon non parpol agar tidak dapat mengikuti pilkada dengan menggunakan undang-undang tersebut,” terangnya.
Namun, kenyataan sudah terjadi, nasi sudah menjadi bubur. Masyarakat Jakarta harus mengikuti pelaksanaan pilkada DKI Jakarta 2007 ini yang hanya diikuti oleh dua pasang calon. Memang tidak banyak pilihan. Tapi kini, masyarakatlah yang punya sikap, memilih atau menjadi golongan putih. Karena golput juga merupakan hak dalam demokrasi.

sumber : Okezone
=============

Faisal Basri: Saya Senang Kalau Dilaporkan ke Polisi
-----------------------------------------------------------------------

Jakarta - Partai Golkar mengancam akan melaporkan ekonom Faisal Basri ke polisi jika tak berhasil membuktikan tudingannya terhadap partai berlambang pohon beringin itu. Namun, Faisal mengaku tak gentar dengan gertakan yang dilontarkan partai pimpinan Jusuf Kalla itu.
"Saya senang sekali kalau dilaporkan ke polisi. Sekalian momen ini akan saya jadikan momentum untuk membuka kebangkitan Orde Baru," kata Faisal ketika berbincang dengan detikcom, Selasa (12/6/2007).
Bahkan Faisal mengatakan, Partai Golkar tidak perlu memberi dirinya waktu tiga hari. Kalau perlu, lanjut dia, laporkan saja langsung.
"Tidak butuh waktu, laporkan saja langsung," tandas pria yang sempat masuk bursa cagub DKI Jakarta ini.
Jadi sudah mengantongi bukti-bukti? "Saya punya buktinya, saya akan roadshow ke kampus-kampus untuk membuka skenario nasional yang dilakukan Partai Golkar. Ini Orde Baru jilid dua," kata Faisal.
Perseteruan Faisal dengan Partai Golkar berawal ketika ekomom UI itu menuding munculnya dua cagub dalam pilkada mendatang adalah permainan Partai Golkar. Menurutnya, langkah ini dilakukan Golkar dalam rangka memuluskan langkah untuk memenangkan Pilpres 2009.
Selain itu, Faisal juga menuding Golkar juga ikut bermain pemilihan pimpinan DPRD DKI lalu. Pada saat itu, Ade Surapriyatna (kini Ketua DPRD) yang notabene orang Golkar, menghembuskan isu agar jangan memilih Ketua DPRD dari PKS, jika DKI tidak ingin Jakarta dijadikan kota Taliban.

sumber:detikcom
============

Pilkada DKI tanpa Calon Independen, Bencana Demokrasi
------------------------------------------------------------------------------


Oleh Wimar Witoelar

Gagalnya mengizinkan calon independen merupakan bencana bagi Pilkada DKI dilihat dari perkembangan demokrasi. Secara lebih luas, ia juga menandakan beratnya jalan ke arah demokrasi selama elite politik masih berpikir defensif. Politik DKI belum digunakan untuk menampung keinginan Orang Biasa. Partai menjadi oligarki untuk mempertahankan kekuasaan. Secara lebih skeptis bisa dikatakan reformasi akan mandek, karena hasil korupsi pemegang kekuasaan akan dilindungi terus oleh elite politik.

Pergantian pimpinan membuka harapan

Bila pemegang kekuasaan di suatu Daerah Tingkat 1 digantikan oleh yang baru, bisa ada harapan Gubernur baru melakukan gerakan pembersihan pada awal masa jabatannya. Sebaliknya, bila Pilkada menghasilkan Gubernur yang satu kubu dengan Gubernur lama, dengan sendirinya korupsi akan dibiarkan. Seorang penguasa baru dari kubu incumbent tidak berkepentingan melakukan pembersihan. Mana bisa, karena yang harus dibersihkan itu justru senior yang mensponsor kemenangan menjadi Gubernur baru.

Semangat mencari calon ketiga

Pilkada DKI sempat dihangatkan ketika beredar pikiran bahwa perlu ada calon ketiga, ketika tahap pencalonan kelihatan akan mandek pada dua calon. Berbagai lembaga survei mengumumkan temuan bahwa lebih dari 70 persen pemilih menginginkan ada calon ketiga. Tidak dilaporkan lebih lanjut mengapa banyak keinginan ini. Tapi sangat jelas salah satu sebabnya adalah bahwa kedua calon yang mapan itu tidak menarik untuk dipilih rakyat. Mengapa tidak?

Dua calon yang kurang menimbulkan gairah

Cagub Fauzi Bowo adalah Wakil Gubernur incumbent yang didukung oleh Gubernur Sutiyoso. Kalau calon ini nampak kuat, ini adalah karena dari awal pemerintahan DKI dipakai sebagai mesin kampanye. Semua yang memerlukan dukungan Gubernur digiring untuk mendukung Fauzi Bowo. Ini berlaku baik bagi perusahaan dagang, yang diminta diam-diam untuk menyumbang dana kampanye, sampai kepada stasion televisi yang tidak berani berbeda pendapat sama sekali dengan Gubernur dan Wakil Gubernur. Kasus penggunaan dana APBD untuk poster dan iklan kampanye Gubernur hanya puncak gunung es berupa penyelewengan fasilitas pemerintah daerah untuk kampanye politik.

Fauzi Bowo adalah orang yang berpendidikan tinggi dan berpengalaman lama, sayang kapabilitas itu tidak dipakai. Keahlian yang dipakai bukan dalam pemerintah kota tapi justru dalam pemanfaatan birokrasi dan uang. Pakar pemerintahan daerah dan komunikasi direkrut menjadi penasehat dan pelindung kampanye terselubung. Aneh sekali kalau Fausi Bowo tidak menang. Suasana DKI dibawah Sutiyoso mirip dengan suasana Indonesia dibawah Orde Baru. Tidak ada pilihan masyarakat diluar yang diinginkan regime berkuasa. Kita bisa mengatakan itu karena asumsi kita masyarakat sebagian besar tergantung pada kekuasaan Gubernur.

Muncul calon kedua, Adang Daradjatun, yang sebetulnya memberikan angin segar, karena ia dan pendukungnya termasuk sedikit orang yang tidak tergantung dan tidak takut pada kekuasaan Gubernur sekarang. Apalagi Adang Daradjatun bersikap terbuka dan responsif, rajin tampil dimuka umum bahkan di acara televisi kritis dimana Fauzi Bowo tidak berani muncul. Tetapi orang yang skeptis mempertanyakan, mengapa dia begitu percaya diri, tidak tergantung pada fasilitas siapapun. Beredarlah cerita bahwa calon ini telah mengumpulkan uang banyak dan menyumbangkan uang dalam jumlah puluhan Milyar kepada partai yang dipilihnya sebagai pendukung. Susah juga diperoleh keterangan yang pasti, sebab menanyakan hal begitu dianggap tidak sopan dan mengeluarkan sinyalemen akan langsung diblokir oleh tantangan untuk mengeluarkan bukti. Lagipula Adang menggunakan cara kampanye yang santun dan menunjukkan penghormatan pada publik. Untuk sementara, fokus lebih ditujukan pada Fauzi Bowo dan Sutiyoso yang jelas melanggar etika komuinikasi publik dengan berbagai taktik mulai dari menyelundupkan orang kedalam acara sosialisasi Pilkada, menyewa pakar dengan ilmu yang menyesatkan, dan menghindari semua kesempatan untuk tampil dengan idenya. Orang banyak yang tahu Fauzi Bowo dari wajahnya dan kumisnya yang khas, dan juga tahu ia rajin datang ke acara massal dan membagikan hadiah. Tapi tidak ada yang tahu apa programnya kalau jadi Gubernur. Anak buahnya pernah mengatakan Fauzi akan melanjutkan kebijaksanaan Sutuyoso. Itu tidak mendapat sambutan hangat karena kebijaksanaan sekarang justru menghasilkan penderitaan. Tapi kalau Fauzi mau bilang bahwa ia akan melakukan perombakan, tidak berani juga. Soalnya, Sutiyoso tidak merasa ada yang salah. Ia selalu menekankan bahwa hanya dia yang tahu cara memerintah DKI. Menghadapi bonek, harus dengan cara yang sama keras, merupakan parafrase dari ucapan kegemarannya.

Pemilih mulai malas

Pemilih mulai malas. Fauzi Bowo pasti akan jadi calon, dan calon lawannya pasti Adang Daradjatun. Orang belum cukup lama mengenal Adang. Dari mana uangnya yang banyak itu? Apa dia korupsi selama menjadi orang kedua di Kepolisian RI? Katanya uangnya dari istrinya yang menjadi penguasa. Menimbulkan pertanyaan juga. Usaha apa? Apakah suksesnya karena dia istri pejabat tinggi kepolisian? Walaupun tidak ditanyakan secara terbuka, pertanyaan tetap beredar. Harusnya ada yang menasehati Adang Daradjatun agar secara sukarela membeberkan kondisi keuangannya dan hubungannya dengan keuangan PKS. Dengan demikian isu itu bisa hilang dari Pilkada. Tapi kalaupun hilang isu itu, ada isu yang lain, yaitu masalah ideologi partai dan ideologi pribadi. Sebagai polisi, Adang harus bersikap sekuler memisahkan negara dan agama. Moralitas pribadi harus diserahkan pada masing-masing individu. Negara hanya masuk dimana jelas ada rumus hukum. PKS mempunyai ideologi yang bertolak belakang. Justru kader mereka memandang dirinya sebagai pejuang partai bersih yang ingin menegakkan moralitas masyarakat melalui moralitas pribadi. PKS tidak mau memisahkan soal agama dengan soal negara. Pribadi, negara, agama harus disatukan menurut konsep mereka. Kalau mereka tidak melakukan itu, maka sifatnya adalah kompromi. Jadi kalau PKS menyetujui Adang Daradjatun dalam ucapan terkenalnya bahwa ia tidak akan melarang kehidupan malam yang tidak halal, maka pasti persetujuan PKS itu taktis, sementara dan tidak tulus. Ada kerawanan dalam hubungan Adang Daradjatun dengan PKS, dan sayang sekali kalau DKI harus menghadapi masalah semacam itu disamping masalah banjir, orang miskin, kemacetan lalu lintas, hak atas tanah dan kaki lima.

Deadlock

Diantara dua calon itu, pemilih DKI menghadapi deadlock. Kedua kontestan akan main defensif, tidak akan ada yang maju ndengan pemikiran bartu untuk perbaikan kota. Hanya menunggu lawannya ambil langkah Karena itu rakyat DKI perlu calon ketiga, Tapi PAN dan PKB dan partai kecil melepaskan kesempatan menjadi penyelamat, dan sekarang satu-satunya harapan adalah calon independen. Mahkamah Konstitusi tidak menyambut sejarah, tidak mdembuka kesempatan untuk mendukung adanya calon independen. Jadi orang sudah tidak tahu lagi apa yang bisa dilakukan secara aktif. Secara pasif, orang bisa menyatakan kekecewaannya dengan tidak memilih. Tapi itu bukan solusi yang membangun demokrasi. Bagaimanapun, calon independen harus diperjuangkan. Menang atau kalah, itu bukan soal. Jangan biarkan dua calon ini bersaing tanpa partisipasi pemilih. Dan jangan biarkan partai politik mencuri hasil reformasi 1998 dan menggantinya dengan kekuasan baru oligarki politik.

sumber: Koran Sindo,11 June 2007
=========================

No comments: